Dibalik isu kerukukan agama yang belakangan ini menjadi sorotan tajam, prestasi bulutangkis hadir layaknya oase ditengah isu keberagaman. Hal tersebut tercermin dari beberapa pasangan ganda andalan Indonesia yang berasal dari latar berbeda dan berhasil mengumandangkan Indonesia Raya dikancah dunia. Hal tersebut tentu telah membangkitkan suka cita publik yang gerah dengan kondisi carut-marutnya Indonesia dan masyarakat yang mudah terbakar dengan isu SARA saat ini.

            Banyak atlet kebanggaan Indonesia yang melahirkan prestasi mendunia, sebut saja Liliyana Natsir dan Tontowi Ahmad, atau akrab disapa Butet Owi dipertengahan tahun lalu berhasil menyambung kembali tradisi emas olimpiade di Rio Jeneiro 2016 yang sempat terputus, Owi Butet tentu saja memiliki banyak perbedaan, Butet yang berdarah Manado etnis Tionghoa sementara Owi yang berdarah Jawa. Selain itu, ada keberagaman lain dibalik raihan medali emas Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari di kejuaraan Asian Games 2014 silam, yaitu Greys yang seorang Kristiani dan Nitya yang berkeyakinan Hindu. Nampaknya, tidak ada sejarah menceritakan kisah pahlawan pengayun raket yang tidak ingin dipasangkan  dengan alasan perbedaan agama. Toh,
saat menjadi juara All England, juara Olimpiade, dan juara-juara lainnya, orang tidak akan menanyakan suku, agama atau etnisnya, bukan ?
            Di atas, adalah bukti bahwa perbedaan yang mereka alami dapat meluruhkan sekat-sekat yang ada. Tak ayal, merekapun menjadi simbolisasi keberagaman ditengah isu kerukukan agama saat ini. Mereka tidak perlu menjelaskan tentang siapa diri mereka karena orang lain mengenal bukan dari hal tersebut, melainkan dari apa yang mereka lakukan dan persembahkan.
            Banyak cara bisa dilakukan untuk belajar toleransi dari keberagaman, dan tulisan ini memberikan pesan bahwa pada dasarnya siapapun dapat menjadi seorang pahlawan tanpa syarat darimana mereka berasal.